Sepotong Refleksi Setelah Call Me Chihiro
Ada malam-malam yang datang pelan, tanpa suara, hanya membawa rasa hangat yang merayap lembut ke dada.
Hari ini, aku menonton Call Me Chihiro, sebuah film yang rasanya seperti hujan tipis di sore hari diam, menenangkan, tapi perlahan membasuh bagian hati yang lama tak disentuh.
Chihiro berjalan sendirian, tapi tak pernah benar-benar sepi.
Ia memeluk dunia dengan caranya sendiri, memungut sunyi di sudut-sudut kota, menanamkan benih hangat dalam tatapan orang-orang yang ia temui.
Aku jatuh cinta pada caranya merawat luka, tanpa bertanya panjang, tanpa perlu alasan rumit.
Seperti seseorang yang menaruh selimut di bahumu saat kau tertidur, diam-diam, penuh kasih.
Film ini mengajarkanku bahwa kesendirian tidak selalu berarti kehilangan.
Terkadang, ia adalah ruang untuk bertumbuh, untuk mendengar lagi bisikan hati sendiri, untuk merayakan detak yang kita lupakan saat terlalu sibuk mengejar dunia.
Ada ketenangan yang menetes perlahan, menyejukkan, seakan berkata: “Tidak apa-apa. Pelan saja. Sunyi pun bisa menjadi taman yang penuh bunga.”
Malam ini, aku ingin menatap langit lebih lama.
Membiarkan kesunyian duduk di sampingku, menenangkan napas yang sering tergesa.
Aku ingin merawat luka-luka kecil di dalam dada seperti Chihiro merawat orang-orang di tepi laut lembut, penuh sabar, dan setia.
Dan besok, aku ingin berjalan lebih pelan.
Mendengar suara angin, merasakan cahaya pagi di kulit, dan membisik pada diri sendiri:
“Aku baik-baik saja. Bahkan sunyi pun bisa menjadi rumah.”
Komentar
Posting Komentar