Kematian Versi Pamona
Gua, Yumu, dan Tubuh yang Belum Selesai
oleh chinta yang idealis, dan punya relationship complicated dengan kopi sachet & Excel coding 😘
Aku ingat betul waktu pertama kali masuk Gua Tangkaboba di daerah Pamona. Langkah pertama itu kayak buka pintu ke dunia lain. Udara langsung lembap, suasana hening, dan aku jujur rada deg-degan karena ini gua beneran, bukan kayak gua-gua yang di katalog turis. Tapi lebih dari semua itu, yang bikin aku tercengang adalah suasana yang… sacred tapi juga raw. Gua ini tidak cuma tempat simpen tulang. Ini kayak arsip budaya yang masih hidup. Dan tulang-tulang di dalamnya? Mereka kayak bilang: “Ngana kira ngana so mangarti hidup dan mati? Tunggu dulu, bestie.”
Yumu—peti kayu tempat jenazah—adalah salah satu objek paling kuat di sana. Dibentuk seperti rumah kecil, kadang mirip perahu. Ini bukan dekorasi. Ini simbol. Dalam banyak sistem kepercayaan, tubuh yang mati bukan berarti selesai. Hertz (1960) udah bilang dari zaman baheula: tubuh itu masih bekerja secara sosial. Jadi pas orang meninggal, mereka dipindah statusnya. Dari “si A anaknya siapa” jadi “leluhur yang diam-diam masih ngamatin cucunya yang nakal.” Di Pamona, ini beneran diwujudkan: tubuh dimasukin ke yumu, dan yumu-nya ditaruh di gua. Bukan dikubur, tapi “diarsipkan”—literally.
Yang bikin kepala antropologku cenat-cenut adalah: praktik ini itu bukan soal mistik doang. Ini kosmologi. Gua di sini dipandang kayak rahim bumi. Tempat kembali. Jadi pas tubuh diletakkan di sana, itu bukan kayak buang barang bekas. Itu kayak restock manusia ke sistem alam. Lévi-Strauss (1964) bakal tepuk tangan kalo lihat ini. Gua jadi medium antara dunia manusia dan dunia arwah. Liminal banget, bro.
Sekitar yumu dan kerangka, ada banyak benda-benda: pecahan tembikar, dan manik-manik. Banyak orang luar bakal nyangka itu cuma “bekal kubur,” tapi ternyata ini bentuk komunikasi material. Tilley (2004) bilang benda bisa punya agensi, dan Hoskins (1998) bilang benda bisa ingat saat manusia udah lupa. Jadi, bisa dibilang, manik-manik itu kayak diari kecil. Tapi versinya leluhur. Isinya mungkin kayak: “Ini favoritku waktu masih hidup, please jangan lupa kirim cucuku masuk kuliah yang bener.”
Yang aku pelajari adalah: masyarakat Pamona ngerti banget pentingnya menaruh manusia dengan benar. Dan bukan cuma soal “letaknya di mana,” tapi soal relasi: manusia, tanah, roh, benda. Di dunia yang makin cepat, makin gampang lupa, mereka ngajarin satu hal penting—bahwa keberlanjutan tidak harus dibikin lewat inovasi. Tapi lewat penghormatan. Bahwa orang mati bukan untuk dilupakan, tapi diajak hidup berdampingan—meskipun lewat kayu, gua, dan tulang.
Sebagai antropolog muda (ciee pengakuan diri) yang hidup di era Google Docs dan snack culture, aku beneran merasa praktik ini kaya banget. Penuh makna, penuh sistem. Tidak cuma “unik,” tapi sistematis dan punya lapisan-lapisan kosmologis. Masyarakat Pamona ngajarin: tubuh itu bukan beban. Tapi arsip. Yang harus disimpan dengan penuh rasa hormat.
Komentar
Posting Komentar