Makan Gratis? kamu Cuma Dikasih Cacing Sama Politikus Bego!
Makan Gratis, Kapitalisme Busuk, dan Omong Kosong Politik Murahan
Makan gratis? Kapan terakhir kali pemerintah benar-benar memberikan sesuatu secara cuma-cuma tanpa agenda tersembunyi di baliknya? Jika Anda percaya bahwa program ini merupakan bentuk kepedulian negara, maka selamat anda baru saja memenangkan penghargaan sebagai individu paling naif tahun ini.
Sebab, mari kita bersikap realistis: tidak ada yang benar-benar gratis di dunia ini, kecuali propaganda murahan yang terus Anda telan mentah-mentah.
1. Gratis? Omong Kosong!
Dikatakan gratis, tetapi dibiayai oleh Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Dari mana APBN berasal? Dari pajak yang dibayarkan oleh rakyat oleh Anda, oleh saya, oleh semua individu yang bekerja keras hingga kelelahan, namun tetap memperoleh pendapatan lebih rendah dibandingkan anggaran pengadaan barang mewah para pejabat. Jadi, ini bukan makan gratis, ini makanan yang Anda biayai dua kali: pertama melalui pajak, kedua melalui harga diri yang diinjak-injak oleh elite rakus yang berpura-pura peduli.
Pikirkan baik-baik. Siapa yang benar-benar diuntungkan dalam kebijakan ini? Bukan rakyat kecil. Bukan pedagang warung. Tetapi perusahaan-perusahaan besar yang memperoleh proyek pengadaan makanan dengan markup harga yang lebih tidak masuk akal daripada skenario sinetron murahan. Jika Anda mengira Rp71 triliun itu sepenuhnya digunakan untuk memberi makan rakyat, maka Anda sedang berada dalam ilusi. Sebagian besar dana itu kemungkinan telah berpindah ke rekening-rekening pribadi para oligarki yang mengendalikan negara ini.
2. Makan Gratis, Tapi Rakyat Tetap Dijadikan Budak
Jika Anda berpikir bahwa program ini merupakan solusi jangka panjang bagi permasalahan kemiskinan, Anda terlalu optimis. Ini bukan kebijakan untuk membebaskan rakyat dari kemiskinan, melainkan untuk menciptakan masyarakat yang terus-menerus bergantung pada negara. Hari ini Anda diberikan makanan gratis, besok Anda dipaksa tunduk dan diam karena telah “dibantu.”
Ini bukan kesejahteraan, ini strategi untuk mempertahankan kendali atas rakyat. Pemerintah yang benar-benar peduli tidak hanya memberikan makanan, tetapi juga membangun sistem agar rakyat bisa memenuhi kebutuhan pangan mereka sendiri. Mereka yang ingin rakyatnya mandiri akan memberikan alat pancing, bukan hanya ikan. Namun, dalam sistem ini, rakyat dibiarkan tetap lapar agar tetap membutuhkan negara karena jika rakyat mampu berdiri sendiri, maka mereka tidak akan lagi tunduk pada penguasa.
3. Perempuan? Sekali Lagi Hanya Alat Politik
Program ini diklaim sebagai bentuk kepedulian terhadap ibu hamil dan anak-anak. Feminisme? Omong kosong. Jika benar-benar peduli pada perempuan, mengapa tidak memberdayakan UMKM perempuan untuk memasok makanan? Mengapa bukan komunitas ibu-ibu di desa yang diberikan akses untuk ikut serta dalam rantai pasok pangan?
Jawabannya sederhana: karena mereka tidak memiliki akses kepada lingkaran kekuasaan. Maka, proyek-proyek semacam ini jatuh ke tangan perusahaan besar yang memiliki koneksi dengan para pejabat. Ibu-ibu yang katanya ingin “dibantu” tetap menjadi penonton, tidak memperoleh keuntungan apa pun kecuali sisa-sisa kebijakan setengah hati.
Dan yang paling ironis? Makanan yang diberikan justru membahayakan kesehatan anak-anak. Kasus keracunan massal di Sukoharjo bukan sekadar insiden kecil, melainkan bukti bahwa makanan yang disebut “gratis” ini dapat berubah menjadi senjata yang lebih berbahaya dari kebijakan represif sekalipun. Bagaimana mungkin pemerintah menyuruh rakyat makan, tetapi tidak bisa menjamin bahwa makanan tersebut aman? Jika ini bukan kelalaian, maka ini adalah eksperimen sosial yang kejam.
4. Kapitalisme Berkedok Kepedulian
Kita harus memahami bahwa program ini bukanlah bentuk kebijakan sosial murni, melainkan taktik untuk mempertahankan sistem yang terus mengeksploitasi rakyat kecil. Negara tidak ingin rakyatnya sejahtera, negara hanya ingin mereka tetap hidup tetapi dalam kondisi yang cukup lemah agar terus bergantung pada kekuasaan.
Jika pemerintah benar-benar ingin menyelesaikan masalah kemiskinan, solusinya bukan memberikan makan gratis yang hanya bersifat sementara, melainkan membangun sistem pangan yang adil dan memberdayakan masyarakat. Ajar rakyat untuk mandiri, berikan mereka akses kepada sumber daya, dan hentikan praktik monopoli yang hanya menguntungkan segelintir elite.
Jadi, sebelum Anda bersorak-sorai atas program ini, tanyakan satu hal:
Jika negara benar-benar peduli, mengapa mereka tetap mempertahankan rakyat dalam kelaparan?
Komentar
Posting Komentar