Bahaya Laten Anti-Intelektualisme
Anti-intelektualisme adalah pandangan, sikap, dan tindakan yang merendahkan ide-ide, pemikiran, kajian, telaah, riset, diskusi, hingga debat. Dalam rumusan Richard Hofstadter, anti-intelektualisme diindikasikan dengan perendahan, purbasangka, penolakan, dan perlawanan yang terus menerus, ajeg dan konstan, terhadap dunia ide dan siapapun yang dianggap menekuninya. Turunan dari hal itu adalah syak wasangka yang akut kepada filsafat, sains, sastra, seni – pendeknya: mencurigai teori.
Secara etimologi, teori meniscayakan kesediaan mempertimbangkan, berspekulasi, menggugat, mempersoalkan (dari kata Itheoria dan theorein dalam Yunani). Teori tak akan pernah lahir dari para “pemeluk teguh” kebenaran, yang memandang segala sesuatu sebagai beleid-beleid, pasal-pasal, ayat-ayat, yang mesti diterima tanpa syarat, juga mesti bulat, tanpa cacat, minus keraguan.
Dalam ilmu pengetahuan, teori selalu merupakan agregasi tiada henti dari berbagai fakta, beragam hipotesa, yang satu sama lain saling berdialog dan kadang bertarung, sampai kemudian dapat ditemukan sebuah rumusan. Dalam perjalanannya, setiap rumusan, katakanlah sebuah teori, juga akan (bukan harus, karena akan mengandaikan sesuatu yang alami, niscaya terjadi) menghadapi tantangan dari fakta-fakta baru, konteks-konteks baru, temuan baru.
Melalui falsifikasi ala Popperian atau patahan paradigmatic ala Thomas Kuhn, teori terus berkembang. Niscaya bertumbuh. Masyarakat yang didominasi sikap anti-intelktualisme, dengan sendirinya, sulit melahirkan ilmu pengetahuan. Masyarakat jenis itu yang tidak cukup memiliki kadar asam-basa yang dibutuhkan bagi merekahnya peradaban.
Sebab hanya butuh seekor angsa berwarna hitam untuk mematahakan “teori” bahwa angsa itu berwarna putih. Kebebalan – yang dicirikan oleh sikap tidak sudi mempertimbangkan lagi dan meninjau ulang; ingat soal etimologi teori dari theoria dan theorein— akan membuat fakta tentang seekor angsa berwarna hitam bisa dibantah dengan rupa-rupa dalih, misalnya: itu bukan warna hitam, karena kadar hitamnya cuma 75 persen.
Anti-intelektualisme tidak sama dengan anti-logika atau anti-rasio(nalisme). Logika hanyalah salah satu metode penalaran, cara berpikir, dan bukan satu-satunya – apalagi jika logika semata dirujuk kepada silogisme Aristotelian. Seorang bisa tekun ber-uzla, bermeditasi dengan nalarnya, berkontemplasi dengan akal-budai, melalui jalur yang lain. Metode kreatif di kalangan para penyair, misalnya, sangat mungkin tidak bekerja dengan logika macam itu.
Dari situlah menjadi lebih mudah memahami anti-rasio(nalisme). Dirunut jejaknya sejak Yunani kuno, dan menemukan bentuknya yang mapan melalui penahbisan res-cogitan (aku-berpikir) sebagai fakultas puncak kemanusiaan oleh Rene Descartes, rasionalisme sudah ditentang oleh kalangan romantic (terutama dari Jerman) sejak abad 18 dan memuncak melalui Nietzsche.
Melaui pembelahan spirit Dyonisian dan Apollonian, Nietzsche tampil menjadi advokat paling keras kepala dari pandangan yang menganggap bahwa kemabukan – yang diwakili dewa anggur bernama Dyonisius – sebagai cara paling menjanjikan untuk menjalani hidup, dan bukan pandangan Apollonian – yang diwakili dewa matahari dan kedokteran bernama Apollo – yang memuja keseimbangan, tatanan, pengendalian diri, juga pencerahan (yang berporos pada akal-budi dan nalar). Itulah mengapa, bagi Nietzsche, spirit agung Yunani itu terletak pada (drama) tragedy bukan filsafat.
Selain Nietzsche, anti-rasionalisme ini juga banyak “cabangnya”, salah satu di antaranya tentuu saja Sigmund Freud. Dialah “murid” Nietzsche dari lapangan psikologi, walau awalnya metode psikoanalisis Freud yang meneliti mimpi dianggap sebagai pseudo-sains. Melalui Freud, akhirnya, manusia mulai menyadari bahwa banyak hal dalam diri tidak ditentukan atau dipengaruhi secara sadar atau oleh kesadaran, melainkan oleh alam bawah sadar, yang disebut Freud sebagai “id”. Nalar, akal, budi, hukum, hingga agama hanyalah supra-struktur yang ditentukan oleh “id”.
Bukan “saya berpikir maka saya ada” ala Cartesian, melainkan “saya tidak sadar maka saya ada”.
Anti-intelektualisme sudah ada sejka manusia mengenal kegiatan intelektual. Jika membaca buku Fernando Baez, Penghancuran Buku dari Masa ke Masa, daftar kebencian ide-ide sudah ada sejak zaman sebelum masehi. Dari era Raja Joachim pada 700 tahun sebelum masehi hingga ketika Gramedia memusnahkan buku karena diprotes FPI. Dari penghilangan paksa buku kedua Poetics karya Aristoteles tentang komedi hingga pemusnahan variasi Al-Quran demi kodifikasi Mushaf Ustmani. Dari penhancuran Bait Al-Hikmah di Baghdad oleh balatentara Hulagu Mongol hingga pengeboman perpustakaan Baghdad oleh pasukan koalisi pimpinan Amerika Serikat di awal abad 21. Dari dibumihanguskannya koleksi Pramoedya hingga pembubaran paksa lapak Perpustakaan Jalanan di Dago.
Itu semua bentuk-bentuk anti-intelektualisme yang kasar, telanjang, dan terejawantah dalam laku fisikal yang kasat mata. Yang lebih berbahaya justru anti-intelektualisme yang samar-samar, tidak terasa secara langsung, namun berlangsung secara massif dan sistematis. Untuk yang terakhir ini, banyak literature menyebutkan, sudah dimulai sejak merekahnya fajar revolusi industry.
Revolusi industry mengubah lanskap Eropa dan – pelan tapi dengan tingkat kepastian yang tak tertahankan – juga mengubah wajah dunia. Industri membutuhkan banyak sekali pekerja, dari tingkat para penemu teknologi, direktur, manajer, hingga buruh rendahan. Dan itu membutuhkan pendidikan yang spesifik. Untuk pertama kalinya dalam sejarah umat manusia, pendidikan dirancang untuk menjawab kebutuhan produksi (baca:industry). Pendidikan-pendidikan keteknikan, atau lebih tepatnya: pendidikan bercorak spesialis, berkembang dengan pesat. Dimulai dari revolusi industry inilah ilmu-ilmu bersifat teoritis pelan-pelan dikalahkan, atau kurang diminati, dibandingkan ilmu-ilmu praktis.
Dalam bentuknya yang kiwari, fenomena di atas terwujud dalam – misalnya – pengkondisian agar mahasiswa lulus dalam empat tahu, jika perlu kurang dari empat tahun. Tidak perlu berlama-lama di kampus, pelajari yang penting-penting saja (baca:buku diktat), tidak perlu membaca yang aneh-aneh, tidak penting mendiskusikan tema-tema yang taka da dalam silabus dosen, apa lagi beraktivitas dalam organisasi. Itu semua tidak perlu, mubazir, buang-buang waktu, dan buang-buang uang. Yang pasti-pasti saja: masuk kuliah, masuk laboratorium, kerjakan tugas dari dosen, lalu lulus, kemudian segera mungkin bekerja di perusahaan-perusahaan mapan, lalu kawin, lantas beranak-pinak, dan kemudian koit.
Ijazah, dan turunannya yang bernama: sertifikat(si), menjadi penjinak nasib (buruk). Apakah dalam selembar ijazah itu terhampar pengalaman intelektual yang kaya, penjelajahan pemikiran yang berliku-liku, petualangan ide yang berbahaya, tidak lagi menjadi hal pokok. Ijazah bukan lagi sebagai tanda (bahwa seseorang adalah terpelajar), tapi ijazah telah menjadi pesan itu sendiri, sudah menjelma kualitas itu sendiri. Siapa yang tak punya ijazah, juga tak tersertifikasi, layak dianggap tak kredibel.
Dari sanalah lahir apa yang disebut dengan “kredensialisme” (diambil dari Bahasa Latin, “credere”, yang berarti “to believe”). Term “kredensial” merujuk pengakuan dari pihak ketiga yang memiliki otoritas tertentu bahwa seseorang memiliki pengetahuan dan izin yang diperlukan terkait bidang tertentu dalam pengetahuan. Secara fisik, kredensial dibuktikan melalui ijazah. Otoritas yang memberi bisa macam-macam: sekolah, perguruan tinggi, lembaga profesi, hingga institusi agama.
Persoalannya menjadi lain ketika sertifikat dijadikan standar untuk menilai validitas argumentasi seseorang. Kredensial, sekali lagi, seharusnya menjadi salah satu rujukan untuk memecahkan persoalan dengan mencari seorang yang dianggap pakar. Tapi hanya berhenti di sana saja! Seorang pakar pun bisa salah berargumentasi, sebagaimana orang awam pun bisa benar membangun argument. Kekokohan argumentasi seseorang diukur dengan koherensi antara data-data dan caranya menarik kesimpulan, bukan berdasarkan selembar ijazah.
Kredensialisme, kira-kira, bisa diwakilkan dengan contoh kalimat: “Aku professor, maka argumentasiku sudah pasti benar. Kau lulusan SMA, sudah pasti argumentasi kau salah.”
Dunia masih dipenuhi para pemuja kredensialisme, tak terkecuali di Indonesia. Ini sangat berbahaya karena, terutama, ilmu pengetahuan dikur semata sebagai formalism yang bercorak birokratik. Dalam bentuknya yang terburuk, kredensialsme bisa menjerumuskan ilmu pengetahuan semata sebagai doktrin dan pemilik kredensial tak ubahnya pemimpin sekte yang selalu benar. Pasal 1: pemilik kredensial tidak bisa salah. Pasal 2: jika pemilik kredensial ternyata salah, maka kembalilah ke pasal 1.
Kredensialisme adalah gejala di mana-mana. Di Indonesia , misalnya, seorang Ph.D., bisa dengan gampang hilir mudik di televise sebagai pengamat. Dianggap pakar karena sudah punya ijazah doctor ilmu politik. Tidak lagi dipersoalkan apakah yang bersangkutan masih rutin melakukan penelitian atau tidak, masih membaca buku-buku terbaru atau tidak, dan apakah masih menulis atau tidak. Tidak penting lagi proses bernalar di belakang layar, yang penting bicara dengan licin di televise. Syukur-syukur punya koneksi dengan faksi-faksi elit politik.
Tidak terlalu keliru jika ada yang mengatakan mewabahnya fenomena pakar/pengamat sebagai gejala anti-intelektualisme.
Nalar pendidikan yang menempatkan sekolah sebagai pemuas nafsu – semacam dildo dan vibrator – bagi industry ini, bermuara pada apa yang saya sebut di awal sebagai “kecurigaan kepada teori”.
Teori, juga aktivitas mempelajari dan menelaah teori, dianggap sebagai hal yang tidak praktis, mengawang-awang, ndakik-ndakik, tidak membumi, dan tidak memberikan dampak apapun pada kehidupan. Jika pun teori dipelajari, pada awal dan pada akhirnya, itu dilakukan untuk menciptakan penemuan-penemuan baru, atau menjawab persoalan-persoalan, yang dibutuhkan dan dihadapi oleh industry. Teori kadang direndahkan sebagai mimpi basah para pelamun, sebagai takhayul lama yang yak berguna, karena para resi sudah tidak sesuai dengan zaman, dan para empu bisa diciptakan hanya dalam 7 semester.
Dalam konstelasi sejarah politik di Indonesia, khususnya dimulai sejak Orde Baru, dan inilah yang akan menjdai pokok pembahasan kita sore ini, kecenderungan anti-intelektualisme, dan syak wasangka kepada teori, dijadikan alasan untuk mencurigai diskusi, debat, telaah, dan kajian. Studi Daniel Dhakidae yang menghasilkan buku Cendekiawan dan Kekuasaan, memuat banyak sekali contoh kasus bagaimana komunitas-komunitas akademik (termasuk Himpunan Indonesia untuk Pengembangan Ilmu-Ilmu Sosial/HIPIIS, dan Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia/ISEI) seperti menjauhi teori dan sibuk serta sigap menjawab kebutuhan-kebutuhan rezim yang sedang tergila-gila dengan pembangunanisme. Jika pun ada teori, ia lebih menyerupai “bispak”: bisa dipakai untuk melegitimasi kebijakan.
Dengan alasan tidak praktis (persisnya: tidak praktis bagi kepentingan pembangunanisme ala Orde Baru), diskusi-diskusi dicurigai, kajian-kajian yang tidak lazim, hingga debat di parlemen sekali pun dihalangi dan dibatasi. Jangan heran Soeharto selalu menjadi presiden secara aklamasi, sebab mufakat adalah keutamaan, dan ketidaksetujuan sebagai tidak berkepribadian Timur. Teori, sekali lagi, tidak cocok dengan kultus terhadap mufakat, karena teori pada dasarnya membuka diri pada retakan, pada kesalahan, pada fakta-fakta dan temuan baru.
Dengan sendirinya budaya kritik dihambat. Macam-macam caranya: dari mulai interogasi, kemudian ditangkap, diadili dan akhirnya dipenjara – hingga omong kosong slogan “kritik harus bertanggungjawab”, “kritik harus disertai solusi”. Siapa pun yang mengkritik, tapi tak disertai solusi, sering diledek: “Ah, teori!” Ledekan yang begitu santai, sudah jamak dan lazim, seakan angina lalu dan memang dilakukan dengan sambal lalu, namun sesungguhnya mencerminkan sesuatu yang begitu serius.
Slogan “kritik harus bertanggungjawab” dan “kritik harus disertai solusi” ini segendang-sepenarian dengan doktrin yang sampai sekarang masih sering kita lihat di berbagai tempat: “tamu yang menginap lebih dari 24 jam harus lapor kepada RT/RW dan Babinsa”. Semua itu dialasdasari oleh nalar: control! (bisa dihilangkan huruf “r”-nya jika diniatkan memaki Orde Baru).
Mestikah diherankan jika perlawanan sistematis terhadap Orde Baru, dimulai pada awal decade 1980an, dipupuk melalui kelompok-kelompok diskusi. Seakan mengulang apa yang dilakukan para seniornya di Stovia, atau yang dilakukan di rumah Tjokroaminoto di Gang Paneleh, studi klub mewabah di berbagai kota. Dari studi-studi klub inilah, yang mendiskusikan berbagai tema dan isu, bermunculan bibit-bibit perlawanan “konkrit” terhadap rezim Orde Baru.
Anti-intelektualisme tidak ada urusannya dengan tingkat pendidikan, juga tidak bergantung pada latar belakang militer atau sipil. Sangat banyak contoh, lagi-lagi bisa dimulai dengan menukil fakta-fakta yang disusun Fernando Baez, juga dengan melihat kenyataan sehari-hari di sekitar kita saat ini, yang memperlihatkan dengan telanjang betapa anti-intelektualisme sangat jamak berlangsung di kepala orang-orang yang berpendidikan, juga di kalangan sipil.
Hoax tersebar dengan luas dalam kecepatan tak terhingga, tautan sebuah tulisan/berita disebarkan hanya karena judulnya, politikus diserang karena lingkar perutnya atau karena warna kulitnya, video ceramah pendakwah dibagikan jutaan kali hanya karena lidahnya licin membantah Darwin, serial kultwit dijadikan bahan untuk berdebat seakan telah membaca sebuah jurnal ilmiah yang disunting editor professional dan diperiksa para pembaca ahli sekelas para professor. Segenap perilaku macam itu berlangsung dengan massif, seakan hal biasa saja, namun sesungguhnya merupakan bentuk tak kasat mata dari anti-intelektualisme, sekaligus versi lain dari pembubaran paksa Perpustakaan Jalanan dan pertunjukan teater atau diskusi dan pembakaran buku oleh FPI.
Orang seperti Felix Siauw yang berkampanye perempuan-ibu bekerja sebagai marabahaya, sebagai missal, bukanlah orang yang tidak berpendidikan. Ia bisa menulis buku, dan sampai batas tertentu mampu menngartikulasikan pikirannya dengan cara yang lumayan runtut. Ia sama berpendidikannya dengan, missal yang lain, Letjen (purn) Kiki Syahnakri yang nyambung-nyambungin Aristoteles, materialism, marxisme, dan ateisme atau Jenderal Gatot Nurmantyo yang gagal membedakan kapitalisme, sosialisme, komunisme, dan (lagi-lagi) dengan ateisme. Juga sepadan dengan Letkol Desi Ariyanto yang ngacapruk perkara buku-buku yang dibawa Perpustakaan Jalan itu sudah “diketahui kredibilitasnya” dan “diijinkan untuk dibaca oleh kaum muda, atau malah buku-buku yang di dalamnya berisi topic yang tidak sesuai”.
Anti-intelektualisme di tubuh militer Indonesia menjadi lebih berbahaya karena mereka memegan bedil. Dengan bedil, dan keterampilan fisik yang terlatih, juga legitimasi politik, militer bisa tak terhentikan ketika bertindak dengan semangat anti-intelektualisme. Situasinya menjadi lebih mudah bagi militer karena, tidak bisa tidak, mereka tak sendirian berdiri di bawah paying anti-intelektualisme. Militer ada di medan energy yang sama dengan khalayak dalam soal anti-intelektualisme ini. Pembubaran diskusi buku-buku kiri olrhmiliter, misalnya, menjadi dimudahkan karena mendapatkan legitimasi social dari khalayak yang masih juga tidak mau peduli dengan temuan-temuan terbaru soal 1965 yang membantah pandangan Orde Baru.
Politik Indonesia hari ini bukan seperti ketika Sjahrir menentang bandul politik Soekarno-Hatta di awal kemerdekaan dengan menerbitkan pamphlet Perdjoangan Kita. Juga bukan lagi zaman ketika Tan Malaka, di dalam penjara, menulis buku tipis berjudul Thesis, yang kemudian dibantah oleh Alimin dengan buku tipis berjudul Analysis. Ini zaman ketika walikota gaul mempromosikan jenderal penculik sebagai calon presiden dengan alasan wajah yang ganteng, saat seorang gubernur pemarah dibela setengah mampus karena mereka setiap rapat-rapat yang dipimpinnya, ketika seorang presiden didukung habis-habisan sebagai representasi wong cilik hanya karena merayap dari bawah sebagai tukang meubel – sekaligus dihinakan karena wajah ibunya dianggap terlalu muda untuk menjadi ibu kandungnya.
Kita sedang hidup di lingkungan anti-intelektualisme, dan ini menjadi alasan yang sangat kuat untuk waspada agar kita tak terjermbab pada lubang serupa. Sebab kadang seseorang tidak tahu kalau dirinya sudah tidak lagi berpikir dengan kritis. Tahu-tahu seseorang, dan semogalah kita tidak termasuk di dalamnya, menjadi pembela sesuatu yang kita tidak tahu persis apa duduk perkaranya. Karena seringkali kita merasa sudah berpikir, padahal yang bekerja sebenarnya hanyalah favoritism, subjektifisme, dan pikiran-pikiran ideologis yang dogmatis dan membeku.
Komentar
Posting Komentar