Perempuan, Rokok, dan Reputasi di Kampung Orang
Pagi itu aku duduk di kursi plastik biru di kantor desa, dikelilingi kalender Alfamart dan foto presiden. Di depanku, seorang bapak bercerita panjang soal ritual adat sebelum musim tanam. Aku angguk-angguk, pura-pura nyaman. Tapi yang kupikirkan cuma satu:
Anjir, pengen ngerokok. Banget.
Sebagai perempuan kota yang nyasar ke kampung demi data antropologi, aku tahu harus jaga sikap. Senyum manis. Pakaian sopan. Bicara pelan. Tapi craving nikotin ini… kok rasanya lebih sakral dari apapun yang diceritakan bapak itu.
Aku bisa bayangin reaksi warga kalau aku nyalain sebatang di depan kantor desa:
“Hah? Cewek ngerokok?”
“Kasian, anak kota tapi rusak.”
“Udah pintar, sayang ya begitu.”
Dan di situlah letak dilema kita, perempuan yang hidup di dua dunia.
Di satu sisi: feminis, bebas, urban.
Di sisi lain: tamu, peneliti, dan—mau gak mau—perempuan baik-baik versi lokal.
Craving ini gak cuma tentang nikotin. Ini tentang ruang. Tentang batas. Tentang berapa banyak diri yang boleh kita bawa ke kampung orang sebelum dianggap “tidak sopan.”
Akhirnya, aku keluar. Jalan pelan-pelan sambil bawa notes, pura-pura mau “lihat kondisi sekitar.” Lewat rumah warga, kebun, lalu sawah kecil yang sepi.
Aku lihat kiri-kanan. Kosong.
Lalu aku nyalain satu batang.
Tarikan pertama: rasa bersalah.
Tarikan kedua: rasa lega.
Tarikan ketiga: rasa bebas.
Di antara pohon pisang dan suara jangkrik, aku bukan “mbak peneliti,” bukan “tamu dari kota,” bukan “perempuan yang harus dijaga sikapnya.” Aku cuma manusia yang butuh jeda.
Kadang aku pikir, penelitian etnografi bukan cuma soal memahami adat orang lain. Tapi juga soal negosiasi diam-diam dengan identitas sendiri.
Karena kadang, yang paling sulit bukan wawancara soal adat—tapi bertahan sebagai diri sendiri… tanpa menyalakan gosip satu dusun.
Komentar
Posting Komentar