Ketika Mimpiku Ternyata Bukan Milikku
Ketika Mimpiku Ternyata Bukan Milikku
Oleh: Seorang perempuan yang sedang mempelajari dirinya sendiri
Ada satu pertanyaan yang belakangan ini sering aku ulang dalam kepala: “Apakah ini benar-benar mimpiku, atau hanya warisan dari rasa ingin membahagiakan orang lain?”
Aku lahir sebagai anak perempuan pertama, di sebuah keluarga yang sedang membangun segalanya dari awal. Orangtuaku bekerja keras, dan dalam ruang kosong yang mereka tinggalkan, seorang perempuan tua, nenekku mengisi peran sebagai rumah. Ia memberiku pelukan pertama, suara pengantar tidur, dan nasihat-nasihat yang menempel erat dalam ingatan. Maka ketika orang-orang bertanya siapa yang paling membentukku, jawabannya bukan ayah atau ibuku. Tapi perempuan tua yang memanggilku cucu, bukan anak.
Namun menjadi anak pertama di keluarga seperti itu bukan hanya soal mencintai. Tapi juga memikul. Aku tumbuh cepat, terlalu cepat. Belajar mengalah sebelum sempat bertanya, belajar memberi sebelum mengenal ingin. Dan dari sana, lahirlah impian-impian yang terasa seperti milik bersama. Aku ingin jadi orang hebat, tapi bukan hanya karena aku ingin merasa cukup. Aku ingin berhasil agar mereka bangga. Aku ingin mencapai sesuatu agar mereka aman.
Dreams that Are Not Ours: Intergenerational Dreams and Emotional Burdens
Dalam psikologi keluarga, ada konsep yang disebut intergenerational transmission of dreams sebuah istilah yang merujuk pada bagaimana mimpi dan harapan dari satu generasi diturunkan ke generasi berikutnya, baik secara eksplisit maupun diam-diam. Ketika orangtua tidak berhasil mencapai sesuatu, anak-anak mereka secara tidak sadar merasa berkewajiban untuk mencapainya demi mereka.
Menurut Bowen Family Systems Theory, hal ini termasuk dalam dinamika emotional fusion, di mana batas antara keinginan pribadi dan tekanan emosional dari keluarga menjadi kabur. Aku mulai menyadari bahwa banyak keputusanku tidak pernah benar-benar independen. Aku tidak tahu apakah aku benar-benar ingin berada di sini, atau hanya merasa harus.
Dan itu berat.
Tapi yang membuatnya lebih rumit adalah: aku tidak pernah merasa marah karena harus memikul ini semua. Justru sebaliknya, aku merasa bangga. Aku ingin jadi perempuan yang bisa membahagiakan semua orang. Aku ingin jadi “anak pertama” yang bisa diandalkan, dicontoh, dipuji. Tapi dalam proses itu, aku sering kehilangan arah. Tidak tahu lagi apa yang sebenarnya aku inginkan, atau siapa aku tanpa peran-peran itu.
The Good Girl Syndrome dan Ketakutan Menyimpang
Konsep The Good Girl Syndrome yang sering dibahas dalam studi gender dan psikologi perkembangan menunjukkan bahwa banyak perempuan dibesarkan untuk menjadi penyenang, pengalah, pemikul tanggung jawab emosional. Mereka tak hanya diharapkan sukses, tapi juga harus tetap ramah, lemah lembut, dan peduli. Anak perempuan pertama? Bebannya dobel. Kadang kita menyebut ini sebagai “beban tak kasat mata” dari menjadi the eldest daughter.
Aku tumbuh dengan narasi bahwa suksesku bukan hanya milikku. Ia harus dibagikan. Dan itu membuatku sulit mengambil keputusan yang hanya demi diriku sendiri. Setiap kali aku ingin berhenti, ingin memilih jalan lain, ada suara kecil yang berkata: “Jangan. Nanti mereka kecewa.”
Dan begitulah aku belajar mencintai dengan rasa bersalah. Bahkan ketika aku mencintai seseorang, aku ingin membuatnya bahagia lebih dulu, memastikan ia nyaman, memastikan ia baik-baik saja. Aku tidak belajar bagaimana meminta. Hanya bagaimana memberi.
Menemukan Diriku dalam Puing-Puing Peran
Tapi aku mulai sadar sekarang. mimpiku yang selama ini kupeluk erat, bukan satu-satunya kebenaran. Ada ruang dalam diriku yang belum pernah aku tanyai. Ada bagian-bagian dari diriku yang masih bisu, belum diberi izin untuk bersuara.
Dan perjalanan ini bukan tentang menyalahkan. Bukan tentang menolak cinta keluarga. Tapi tentang memberi ruang bagi diriku sendiri untuk tumbuh sebagai individu yang punya mimpi sendiri, luka sendiri, dan cara mencintai diri yang tak harus selalu mengorbankan.
Mungkin benar aku belum selesai membedah semua ini. Tapi hari ini aku tahu satu hal: mimpiku sah untuk menjadi milikku sendiri. Dan mencintai diriku tak akan membuatku menjadi anak yang buruk.
Ini bukan perlawanan. Ini penyembuhan.
Komentar
Posting Komentar